Mengenal GHB, Obat yang Dipakai Reynhard Sinaga untuk Memperkosa

Selasa, 07 Januari 2020 - 17:30 WIB
Mengenal GHB, Obat yang Dipakai Reynhard Sinaga untuk Memperkosa
Mengenal GHB, Obat yang Dipakai Reynhard Sinaga untuk Memperkosa
A A A
Kasus pemerkosaan terhadap sekitar 190 pria yang dilakukan Reynhard Sinaga di kawasan Manchester, Inggris, mencuatkan nama obat bius GHB. Obat ini terkadang disebut sebagai date rape drug atau obat yang biasa diberikan dengan maksud untuk membuat korbannya tidak berdaya saat diperkosa. Lantas apa sebenarnya GHB?

Dikutip dari laman Wikipedia, GHB atau gamma-hydroxybutyrate adalah obat penenang sistem saraf pusat. Obat ini tidak berbau, terasa asin, tapi tidak bisa dikenali manusia ketika dicampurkan ke dalam minuman. Kadang-kadang obat jenis ini muncul berupa bubuk yang ditambahkan ke minuman dan biasanya dicampur dengan minuman ringan, tetapi tidak untuk alkohol. Kekuatan G sangat bervariasi sehingga sulit untuk mengetahui dosis yang aman. Modus mencampurkan GHB ke dalam minuman inilah yang dilakukan Reynhard terhadap para korbannya sebelum memperdayai mereka.

Meskipun sering disebut sebagai date rape drug, GHB sebenarnya digunakan untuk tujuan rekreasi. Obat ini digunakan untuk merangsang euphoria, meningkatkan sosiabilitas, meningkatkan libido dan menurunkan tekanan. Obat ini tersedia dengan nama seperti Rufies, Liquid E, dan Liquid X.

Dikutip dari laman BBC, lumrah bagi para pria homoseksual menggunakan GHB saat melakukan hubungan seks. Obat ini dipakai untuk meningkatkan performa seks antara dua atau lebih partner. Meski begitu, obat ini juga digunakan kaum heteroseksual sebagai obat pesta. Namun, para pemerkosa menggunakan GHB sebagai senjata untuk membuat mangsa mereka jadi tak berdaya. Sebuah survei terbaru memperkirakan lebih dari sepertiga responden menjawab mereka mengalami penyerangan seksual dalam kondisi tidak sadarkan diri.

"Obat ini bisa melemahkan otot dan menurunkan kesadaran," kata psikolog klinis dan forensik, Kasandra Putranto saat dihubungi SINDOnews, Selasa (7/1/2020).

GHB ini nyaris sama dengan GBL—gamma butyrolactone, zat yang dijual secara sah sebagai pelarut industri tapi menjadi GHB ketika masuk tubuh. Bersama, dua obat ini dikenal sebagai G dan tampil dalam bentuk cairan yang bening, tak berbau dan berminyak yang larut dalam minuman ringan dan ditelan.

Obat ini bisa memberikan rasa euforia dan meningkatkan gairah seks penggunanya. Namun, penambahan dosis obat ini, bahkan kurang dari satu milliliter, bisa berakibat fatal. Overdosis G bisa membuat orang bingung, kejang-kejang, kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas. Overdosis ini gampang terjadi ketika G dicampurkan dengan alkohol atau obat lain.

“Ini adalah obat yang memiliki risiko besar ketika orang-orang berusaha menggunakannya untuk bersenang-senang. Jika kalian mengambil satu tetes ekstra GHB, 20 menit kemudian, kalian akan tidak sadarkan diri,” ujar Profesor Adam Winstock, psikiatris konsultan dan pendiri Global Drug Survey.

GHB yang dikonsumsi dalam dosis tinggi akan bekerja setelah sekitar 20 menit dan akan berlangsung sekitar satu jam tapi juga bisa bertahan hingga empat jam. Dosis obat ini dapat menyebabkan pengguna merasa kedinginan, terangsang atau agak tinggi.

Namun, terlalu banyak menggunakan GHB dapat menyebabkan efek samping seperti pusing, bingung, mengantuk, atau muntah hingga kejang, koma dan yang terparah adalah kematian. Selain itu, dibeberapa kasus, penggunaan GHB dapat menyebabkan masalah seksual, masalah kesehatan mental atau mengalami kesulitan dengan hubungan pekerjaan dan keuangan.

"Intinya, jika pasangan dalam kondisi intoksikasi (alkohol atau zat lainnya), maka hubungan seksual yang tanpa persetujuan jatuh dalam kategori pemerkosan," kata psikiater dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp. KJ.

Bukan kali ini saja Inggris dihebohkan dengan penggunaan GHB untuk kejahatan seksual. Pada 2016, Stephen Port divonis penjara seumur hidup setelah terbukti meracuni 4 pria muda dengan dosis tinggi GHB sebelum membunuh mereka. Dia juga diduga melakukan perkosaan terhadap banyak pria dengan menggunakan obat tersebut.

Menurut Adam, sulit mengetahui berapa orang yang telah mengalami penyerangan seksual saat berada di bawah pengaruh GHB. Apalagi, para korban juga sering kali tidak melaporkan apa yang menimpa diri mereka kepada polisi. Orang bisa merasa tidak pasti dengan apa yang terjadi dan apakah mereka telah mengalami tindakan kejahatan. Mereka juga merasa malu, bersalah dan takut karena harus mengungkapkan informasi yang mereka rasa memalukan. Selain itu, ada juga yang takut mereka bisa diperiksa karena pelanggaran narkoba.

Di Inggris, G termasuk gampang didapatkan sepanjang seseorang itu tahu untuk mencarinya karena adanya lubang hukum yang berarti GBL bisa dijual untuk pemakaian industrial. Meski begitu, GBL juga masuk obat-obatan Kelas C sejak 2009. Ini artinya, mereka yang menyuplai atau memilikinya untuk dikonsumsi sudah melanggar hukum. Sedangkan GHB masuk obat-obatan Kelas C sejak 2003. Kepemilikan atas dua obat-obatan itu bisa membuat seseorang menghadapi vonis dua tahun penjara dengan atau tanpa denda tak terbatas. Sementara, menyuplai obat-obatan ini bisa membuat seseorang menghadapi 14 tahun penjara dengan atau tanpa denda.

GHB dikembangkan pada 1960an sebagai obat bius. Namun, penggunaannya dihentikan karena efek sampingnya. Pada 1980an, GHB digunakan untuk membantu tidur dan suplemen untuk body building.
(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7739 seconds (0.1#10.140)